Minggu, 14 Juni 2009

HUKUM, KEBIJAKAN DAN KEBIJAKSANAAN

Pengertian dan konsekuensi pertanggunggungjawabannya

Dalam realitas di masyarakat, seringkali terjadi kerancuan dalam memahami kesamaan dan perbedaan antara hukum, kebijakan dan kebijaksanaan. Hukum dipahami/diartikan dengan kebijakan, kebijakan dipandang sama dengan kebijaksanaan, bahkan yang paling rancu seringkali ada kebijakan atau kebijaksanaan dipandang sebagai hukum. Penulis mencoba mendiskripsikan pemahaman tentang ketiga istilah tersebut dalam konteks hukum baik teori maupun praktek.

Hukum.
Sampai saat ini, belum ada kesepahaman yang sama dikalangan intelektual hukum tentang pengertian hukum, namun secara umum telah disepakati bahwa ada karakteristik yang menjadi syarat mutlak dari ketentuan yang kemudian bisa dikatagorikan sebagai sebuah produk hukum, yaitu :
Adanya unsur perintah dan atau larangan;
Adanya unsur memaksa (pemberian sanksi bagi pelanggarnya)
Adanya unsur untuk ketertiban, dan
Adanya kewenangan dari pembuat aturan.

Apabila terdapat suatu ketentuan yang tidak mengandung unsur-unsur sebagaimana tersebut diatas maka pantas diragukan apabila produk tersebut dapat disebut sebagai hukum.
Contoh hukum adalah, “barang siapa yang telah mengakibatkan kerugian bagi orang lain, maka terhadap kerugian tersebut bagi pembuatnya diwajibkan memberikan ganti kerugian”. Terdapat unsur (larangan) membuat kerugian, bagi pembuat diharuskan (unsur memaksa) memberikan ganti kerugian, maksud larangan dan pemberian ganti kerugian untuk adanya ketertiban.


Kebijakan
Kebijakan atau biasa disebut dengan policy, sangat erat kaitannya dengan kewenangan, kebijakan muncul karena adanya kewenangan, kewenangan berkaitan dengan jabatan, kebijakan hanya dapat dilakukan oleh karena adanya kewenangan yang melekat pada seseorang.
Orang yang tidak mempunyai kewenangan tidak dapat menerbitkan kebijakan. Kebijakan merupakan ketetapan yang diambil pihak yang mempunyai kewenangan dikarenakan adanya suatu keadaan/permasalah/perubahan tertentu.
Contoh dari kebijakan diantaranya Intruksi Presiden (INPRES), INPRES merupakan kebijakan, bukan hukum, didalam INPRES tidak terdapat unsur larangan dan sanksi, hanya unsur instruksi/perintah, selain itu proses munculnya INPRES tidak melalui proseses legislasi tetapi berdasarkan kewenangan yang melekat pada presiden.

Kebijaksanaan.
Kebijaksanaan merupakan suatu bentuk pengenyampingan terhadap aturan, diumpamakan dalam suatu hal telah ada ketentuan tentang larangan untuk melakukan atau dilakukan sesuatu, tetapi kemudian terdapat pengenyampingan aturan tersebut bahwa sesuatu atau dapat dilakukan atau boleh melakukan sesuatu yang telah dilarang, diperkenankannya melakukan atau dilakukan sesuatu yang dilarang tersebut disertai dengan syarat.
Kebijaksanaan berkaitan erat dengan syarat yang harus dipenuhi oleh pihak yang mendapatkan kebijaksanaan, calon penerima kebijaksanaan harus melakukan/memberikan/membuat sesuau agar kebijaksanaan dapat dikeluarkan, apabila syarat untuk dikeluarkannya kebijaksanaan tidak dipenuhi, maka kebijaksanaan tersebut tidak dapat dikeluarkan oleh pihak yang mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan kebijaksanaan.
Contoh dari kebijaksanaan diantaranya adalah didalam aturan ketenagakerjaan pada umumnya, bahwa terhadap karyawan yang tidak masuk bekerja selama 5 (lima) hari berturut-turut maka dapat dilakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) apabila tidak ada pemberitahuan/ijin yang disertai alasan pendukung yang kuat. Pada prinsipnya aturan melarang karyawan tidak masuk 5 (lima) hari berturut-turut dan konsekuensinya dapat di PHK, tetapi terdapat kebijaksanaan bahwa PHK tidak akan dilakukan apabila atas tidak masuk kerja tersebut disertai adanya alasan tidak masuk (ijin).
Contoh lain dari kebijaksanaan adalah, adanya larangan membuang limbah industri cair ke sungai, namun dapat diberikan kebijaksanaan untuk diperbolehkan (dapat ijin) membuang limbah ke sungai dengan syarat kondisi limbah yang akan dibuang harus diolah terlebih dahulu sehingga tidak mengganggu baku mutu air.

Akibat Hukum
Dari ketiga permasalah diatas, sangat berbeda konsekwensi hukum yang dihasilkan baik bagi subyek maupun obyeknya, karena memang prosedur terbitnya juga berbeda.
Karena hukum bersifat memaksa dan dibuat oleh lembaga yang berwenang, maka bagi pelanggar hukum berdampak pada akan diterimanya hukuman, hukuman tersebut merupakan upaya untuk memberikan keseimbangan alam atas ketidakseimbangan yang muncul karena dilanggarnya hukum.
`Sedangkan kebijakan, maka terhadap konskwensi hukum yang muncul sebagai akibat diterbitkannya kebijakan merupakan tanggung jawab dari pengambil kebijakan, sedangkan bagi pelaksana kebijakan, selama dalam pelaksanaannya tidak menyimpang dari kebijakan yang ada maka tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum atas akibat dari pelaksanaan kebijakan. Namun apabila dalam pelaksanaan kebijakan ada penyimpangan dan berdampak hukum maka pelaksana kebijakan yang menyimpang bertanggung jawab secara pribadi (Ultra Vires) atas dampak yang muncul.
Untuk kebijaksanaan, maka apabila pemohon kebijaksanaan tidak memenuhi klausula/syarat diberikannya kebijaksanaan, maka pihak yang berwenang memberi kebijaksanaan tentu tidak dapat mengeluarkan kebijaksanaannya, sebaliknya apabila syarat tidak dipenuhi sementara pengambil kebijaksanaan tetap mengeluarkan kebijaksanaan maka pengambil kebijaksanaan dapat dimintai pertanggung jawaban hukum/sanksi atas tindakannya. Sedangkan apabila apabila syarat tidak terpenuhi sementara kebijaksanaan tetap dikeluarkan maka pengambil kebijaksanaan dapat dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum.

PENUTUP
Dari deskripsi diatas maka dapat ditarik resume secara sederhana bahwa :
Hukum, kebijakan dan kebijaksanaan sangat berbeda, baik menyangkut proses terbit, pelaksanaan maupun akibat hukumnya.
Hukum terbit dari proses legislasi yang bertujuan untuk ketertiban dan menghukum bagi pelanggarnya.
Kebijakan terbit karena adanya kewenangan untuk menyelesaikan permasalahan tertentu.
Kebijaksanaan terbit karena adanya syarat yang dipenuhi untuk dapat dilakukan pengenyampingan terhadap keadaan yang tidak diperkenankan oleh ketentuan.

Sabtu, 13 Juni 2009

HUKUM, ANTARA KEADILAN DAN KEPASTIAN HUKUM

Hukum ada karena adanya yang mengatur dan adanya yang diatur, karena hukum adalah instrumen untuk mengatur masyarakat agar kondisinya sesuai keinginan/harapan dari yang mengatur. Hukum ada karena adanya cita-cita untuk dapat dirasakannya keadilan bagi masyarakat.


Dalam konteks masyarakat kekinian, mungkin cita-cita hukum akan sebuah keadilan adalah fatamorgana, atau justru maya bahkan hampa. Keadilan sebenarnya hanyalah sebuah cita-cita, hanyalah titik cara mengarahkan pandangan akan harapan, keadilan tidak dapat disentuh, keadilan tidak dapat dirasakan semua, keadilan bukan untuk semua, karena keadilan hanya dapat dirasakan bagi yang dimenangkan.


Keadilan mungkin hanya ada dalam rengkuhan tuhan, dan saat ini tiada wakil tuhan diatas bumi ini, termasuk hakim pun, hakim adalah wakil penguasa/pemerintah untuk menilai pada titik akhir pada sedikit proses tentang sebuah persoalan/persengketaann hukum, untuk menilai di kabulkan atau tidak atas suatu permohonan/gugatan, juga untuk menilai terbukti atau tidak dakwaan jaksa atas dugaan melakukan kesalahan, jadi produk hakim hanya mengabulkan atau tidak, dan menyatakan terbukti atau tidak, hakim tidak untuk menilai salah atau benar.


Karena kondisi kesadaran hukum banyak elemen masyarakat saat ini masih berada dalam fase memprihatinkan karena panca roba sikap dan ego kelompok bahkan institusi, maka tentu rasa keadilan akan semakin sulit untuk sekalipun hanya dijadikan cita-cita, sehingga dalam kehidupan masyarakat saat ini khususnya dalam tataran pergulatan praktek hukum hanya dapat mengupayakan adanya kepastian hukum sebagai cita-cita, artinya kepastian kalah atau menang, kepastian dipersalahkan atau tidak.


Keadilan adalah sebuah harapan sebagaimana cita-cita akan kondisi adil dan makmur, tidak akan bisa diketahui kapan tercapai, jargon keadilan adalah arah untuk berjalan, bukan sesuatu yang akan diraih, kepastian hukum setidaknya yang dapat dirasakan, atau setidaknya dapat menggantikan cita-cita keadilan yang tidak akan pernah dapat dipegang.